be a good moeslim and dies as suhada

Date

Thursday 28 December 2017

rasa tak bertuan


Kau tinggalkan rasa selaksa bara
Membakar nadi menyentuh rongga
Mengulum jiwa pada ruang hampa
Saat ragamu tak lagi berada


Di sini
Jemari kita pernah menaut menari
Anyamkan bulir-bulir jerami
Menjadi sebentuk mimpi abadi

 Di sini
Bayangmu selalu mengisi kisi-kisi hati
Menjamahi tubuh yang semakin melemah ini
Menanti binal tarianmu di setiap mili ronaku berdiri
Gelegakkan amukkan rasa tak berkendali
Hingga nikmat tak henti merajahi hati
Bersama bulir-bulir yang menetesi pori

Kataku bukanlah kata-kata sastrawan
Satu kata berjuta artian
Kataku hanyalah kata sederhana
Gambaran jiwa yang terkungkung rasa
Satu kata satu makna
Membuncah jiwa pada seraut wajah
Yang membuncah pada imaji tak tersapa
Tentang rindu yang terendap di jiwa

MEKAR DIWAKTU YANG SALAH


Seumur hidupku, aku hanya menghabiskan waktu di dalam gemerlap kehidupan jet set yang membuatku tidak pernah tahu dan mengerti akan kehidupan yang sesungguhnya.

Setiap hari aku hanya bersenang-senang dan berfoya-foya tanpa peduli waktu. Tanpa peduli orang lain bahkan orang tuaku. Orang tua? Ah, mereka sama sekali tidak pernah peduli denganku. Mereka hanya bekerja dan bekerja.

Suatu ketika, aku bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik ketika aku duduk disebuah bangku taman. Gadis itu sepertinya telah membiusku, ia memiliki senyuman dan mata yang indah.
“Apakah ada seseorang yang duduk disebelahmu?” Tanya gadis itu dengan suaranya yang terdengar bagaikan suara malaikat.
“Tidak sama sekali nona.” jawabku,
“Bolehkah aku duduk disebelahmu?” Tanyanya lagi,
“Boleh sekali. Silahkan duduk.” jawabku, lalu gadis itu langsung duduk disebelahku.

Sesekali aku memandangi wajah gadis itu. Entah mengapa, hatiku serasa bergejolak, jantungku berdegup kencang.
“ Aku selalu ingin melihat bunga-bunga di taman ini mekar.” kata gadis itu yang telah memecahkan lamunanku.
“Tapi sekarang sedang musim kemarau panjang, nona.” jawabku,
“Iya. Rasanya mustahil untuk aku melihat indahnya bunga-bunga di taman ini lagi.” jawab gadis itu. Wajahnya berubah menjadi sendu entah mengapa,
“Mengapa begitu?” tanyaku,
“Ehm, tidak apa. Hanya saja kalau tanaman-tanaman bunga disini kering. Mustahil kan untuk dilihat?” jawabnya,
“Benar nona. Tapi masih bisa ditanami lagi.” kataku,
“Tapi butuh waktu lagi untuk menunggunya tumbuh.”, katanya,
“Ehm, baiklah.” jawabku menyerah.
“Eh, kita belum berkenalan.” kata gadis itu sembari mengajakku berjabat tangan, “Namaku Gladis. Siapa namamu?”
“ Hai Gladis. Namaku Rangga.” Jawabku sambil menjabat tangannya,
“Aku senang bisa berkenalan denganmu.” kata gadis yang bernama Gladis itu,
“ Aku juga. Bahkan aku sangat senang karena bisa mengenalmu.” jawabku,
“Wah, kamu bisa aja.” kata Gladis,
“Haha. Ngomong-ngomong. Dimana rumahmu?” tanyaku dengan sedikit iseng,
“Rumahku hanya beberapa langkah dari sini.”
“Bolehkah aku datang ke rumahmu?” tanyaku,
“Boleh.” jawabnya singkat. Lalu aku pergi ke rumahnya.

Sesampainya di rumah Gladis, aku merasakan rasa yang sangat berbeda. Aku melihat sebuah keluarga yang sangat sederhana di dalam rumah yang sederhana pula, namun sangat indah. Kehidupan yang jauh dari mewah, namun bahagia. Berbeda dengan kehidupan jet set-ku yang jauh dari bahagia.

Aku sangat senang karena bisa mengenal akrab keluarga Gladis. Ada ibu, ayah dan dua adiknya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Mereka adalah keluarga paling harmonis yang pernah aku temui. Karena keluarga teman-temanku nyaris semuanya sama denganku. Keluarga yang terpisah-pisah karena uang. Memang sangatlah berbeda dan inilah yang aku impikan. Keluarga harmonis seperti keluarganya Gladis.
***

Entah mengapa Gladis yang seusia denganku itu tidak meneruskan sekolahnya. Seharusnya dia sudah kuliah sekarang. Namun, ketika aku tanya dengannya dia tidak menjawab sepatah katapun. Hanya sebuah senyuman manis yang ia berikan padaku. Senyumannya membuatku lupa dengan apapun.

Hampir setiap hari sepulang kuliah, aku datang ke rumah Gladis yang sekarang aku daulat sebagai sahabatku. Entah hanya untuk menyapa keluarganya atau bermain dengan adik-adiknya bahkan berbagi cerita dengannya. Bahkan aku nyaris lupa dengan keluargaku sendiri. Aku seperti mendapatkan kedamaian di keluarga ini.

Aku selalu membantu Gladis untuk merawat bunga-bunga di taman tempat kami bertemu pertama kali agar cepat mekar. Ternyata, setelah aku mendengar cerita darinya, bunga-bunga ditaman itu sungguh indah bila bermekaran. Aku menjadi ikut tidak sabar dengan untuk mekarnya bunga-bunga itu.
“Rangga. Taukah kamu kalau semua bunga di taman ini mekar, kamu akan mengetahui makna kehidupan?” Tanya Gladis saat kami sedang duduk di bangku taman setelah lelah merawat bunga-bunga disana.
“Pasti karena semua serangga yang indah akan datang untuk menghisap nektar dari bunga-bunga ini dan mereka akan terus hidup. Dan juga banyak orang akan datang dan menghabiskan waktunya ke tempat ini.” jwabku,
“Tepat! Sebenarnya masih ada lagi.”
“Apa?”
“Kamu akan tahu sendiri.”

Entah mengapa sesuatu yang aneh aku rasakan setelah mendengar perkataan Gladis itu.

Suatu hari, ketika aku datang ke rumah Gladis. Aku mendapati dia yang terbaring lemah di atas lantai rumahnya. Aku terkejut, panik dan sekaligus khawatir. Di dalam rumahnya juga tidak ada seorangpun dari anggota keluarganya. Tanpa basa-basi aku langsung membawanya ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menghubungi orang tua Gladis setelah membiarkannya diperikasa oleh dokter. Rasa cemasku belum saja hilang. Apalagi setelah orang tuanya memberi tahuku bahwa ternyata ia mengidap gagal ginjal akut dan sudah tidak bisa disembuhkan. Sebenarnya ia harus rajin cuci darah, namun karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak stabil membuatnya tidak pernah melakukan itu.

Aku yang sangat sedih memutuskan untuk menyembunyikan rasa sedihku itu. Bagaimanapun di dalam sisa hidupnya Gladis harus bahagia. Dia harus merasakan kebahagiaan yang membuatnya damai. Karena aku mencintainya.

Seminggu berlalu, Gladis diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sebenarnya karena dokter sudah tidak sanggup lagi untuk menanganinya. Sudah delapan puluh persen tingkat kerusakan ginjalnya. Namun aku selalu berdoa agar ia masih bisa diberi kesempatan hidup lebih lama.

Aku mengajak Gladis pergi ke taman disebuah siang yang cukup panas. Makudku adalah untuk memperlihatkan sesuatu yang sudah ia tunggu-tunggu,
“Gladis! Aku akan memberimu sebuah kejutan!” kataku ketika menjemputnya di rumahnya,
“Apa itu Rangga!”
“Ikut aku!” lalu kami pergi bersama ke taman.

Sesampainya di taman, aku memperlihatkan bunga-bunga di taman itu yang sudah bermekaran. Memang sungguh indah. Warna-warni bunga itu membuat banyak kehidupan bersatu seperti yang pernah diceritakan.

Namun, sesuatu yang tidak pernah kuduga terjadi. Gladis yang tadinya tersenyum manis itu, kini sudah terjatuh. Dia pingsan. Aku yang sangat khawatir itu langsung membawanya ke rumah sakit.
“Siapa yang bernama Rangga?” tanya dokter setelah memeriksa Gladis,
“Sa-saya dok.” jawabku,
“Gladis menunggumu.”
“Baik dok.” lalu aku masuk ke dalam kamar Gladis.

Air mataku seperti tak mau berhenti untuk menetes melihat wajah cantik Gladis menjadi sangat pucat dan ia menjadi tak berdaya.
“Rangga!” kata Gladis dengan suaranya yang terdengar lirih,
“Gladis.” kataku lalu aku mendekatinya dan langsung menggenggam tangannya yang kurus.
“Taukah kamu. Bunga-bunga itu telah memberikan kepadamu sebuah pelajaran tentang kehidupan?”
“Aku tahu itu Gladis.”
“Inilah maksudku.” katanya pelan, “bunga-bunga itu akan berkembang ketika aku meredup.”
“Maksudmu?”
“Ketika aku mati.”
“Tidak Gladis. Kamu masih hidup lebih lama.”
“Terima kasih Rangga. Kamu satu-satunya sahabat dan cinta di hidupku walau aku tak berani mengungkapkan ini sebelumnya.”
“Aku hanya ingin kamu tetap disini.”
“Maafkan aku Rangga. Sampaikan salamku kepada keluargamu. Kembali akurlah dengan mereka dan hidup bahagia. Mereka menyayangimu.” lalu mata Gladis terpejam. Terpejam untuk selamanya.
“Gladis!” teriakanku sangat keras sehingga keluarga Gladis yang saat itu berada di depan kamar langsung masuk ke dalam.

Keluarga Gladis tidak berhenti untuk menitikkan air mata mereka setelah mengetahui seorang putri cantik yang menjadi emas di dalam keluarga itu harus pergi untuk selamanya. Hatiku juga menjadi tidak karuan ketika mengerti maksud dari mekarnya bunga-bunga itu. Ingin rasanya aku menyalahkan bunga-bunga itu. Mereka mekar di waktu yang salah bagiku. Namun disitulah aku tahu makna hidup yang sesungguhnya. Ada kehidupan baru dan juga ada kematian. Ada kebahagiaan dalam kepedihan.