be a good moeslim and dies as suhada

Date

Sunday 31 March 2019

14teen days in love


14teen days in love


Cinta membawa asmara dan ketika cinta itu benar kasmaranlah yang akan terbumbuhi gelora bahagia, begitupun sebaliknya. Bukanlah kebahagiaan jika akhir cinta tanpa pernikahan.
Bersama gunda semua tertera, kisa yang mungkin aku yang merasakanya, atau bagian dari yang lainpun pernah. Inilah mengapa aku tak mau sedikit lebih dalam mencintai karena harapan pada akhirnya akan berujung pada titik yang akan menungguh jawaban.
Selamat malam wanita ku….



Kata pertama yang terucap selamat malam wanitaku, kata ini bagai membakar gelora tertujuh kepada seorang gadis yang baru berani ku dekati setelah hampir 3 tahun aku mencoba memendam asa bahwa aku menyukainya. Kata cinta mungkin akan terlalu cepat jika aku utarakan saat ini. Dia baru barani ku dekati kurang dari satu minggu tapi asa ini seolah memandang satu titik dan di setiap titik itu sama aku menyukainya.
Tapi aku sadar cinta tidak secepat itu, biar ia mengalir dengan lembut dan mengayun sendu hingga saatnya rasa ini akan mengeluarkan geloranya.
Seminggu belakangan ini aku yang baru mendekati mempunyai kebiasaan baru chaating, video call sampai stalking Facebook sampai watshapp nya. Ini memang terlalu lucu untuk seumuranku masih menyukai dengan cara ini, tapi sudahla aku nikmati saja.
Aku dan dia sering bercerita di ujung malam dan di awal fajar, aku seolah punya semangat baru penambah gelora bahagia sehari-hari. Sampai pada suatu pertengahan malam aku berani mengutarakan perasaan ku pada wanitaku ini walau hanya by phone tapi tak ada yang ku kiasankan atau aku bohongi dari setiap kata perasaan yang aku utarakan. “aku menyukaimu jauh dari sebelum saat ini tapi aku baru berani mendekatimu saat ini, mau tidak jadi pacarku? Dan aku berharap jawabanmu hanya satu yaitu mau.” Tapi dengan lembut ia menjawab beri aku waktu 2 minggu untuk jatuh hati kepadamu dengan alasan dia tak mau kecewa seperti cintanya sebelum ini. Aku tertunduk setengah lesu dan semangat dan aku iyakan aku akan menungguh dua minggu itu.
Dua minggu yang di janjikan memang cukup lama bagi aku yang memendam rasa dan perlu jawaban, tapi dia pun sangat benar bahwa cinta perlu waktu untuk jatuh hati. Tapi jauh dari itu aku sangat berterimah kasih pada hati ini yang bisa sesabar ini menungguh balasan cintanya.
Lepas dari itu kita sering chaating walau memang kadang seperti dia tak niat untuk membalas karena paling balasan darinya iya, iy, heem, bahkan hanya emo tertawa. Tapi tak apalah yang jatuh hatikan aku sedangakan dia belum wajar dia seperti itu.
7 day after, tujuh hari berlalu aku meyakinkanya belum ada tanda ia akan menerimahku. sampai pada suatu sore pukul 16.00 aku dengan pasti melihat dia pergi dengan pria yang kemudia dia katakana kalau pria itu temanya. Hati ini setengah hancur tapi aku usahakan kuat memang sempat terpikir untuk berhenti menyakinkanya tapi aku serasa seperti pecundang karena lari dari janji 2 minggu mengguh jawaban darinya. Kembali ku kuatkan hati untuk menyakinkanya walau mungkin wanitaku tak percaya bahwa aku sempat lemah meyakinkan cintaku padanya.
Aku memang mencintai dengan caraku memang kadang konyol tapi inilah yang bisa aku perbuat, tapi yakinlah ada saatnya semua kuperjuangkan untukmu sampai napas ini akan milikmu. Percayalah aku meberi semua yang aku miliki meskipun itu sedikit tapi akanku perjuangkan lebih dan aku pastikan itu semuanya milikmu.
9 day after, Sembilan hari berlalu sampai dimana aku dan dia berada di tempat yang sama resepsi pernikahan sahabatku, memang kita di baris berbeda tapi mataku selau berpaling pada wajahnya tanpa ia sadar itu aku sangat bahagia malam itu dan rasanya malam berjalan sangat cepat tak seperti malam biasanya. Malam itupun berakhir dengan aku mengantarkan ia pulang kerumahnya. Esok harinya ku banguni ia dari tidurnya untuk mengigatkan sholat dan akupun bergegas mandi setelah mengigatnya. Karena hari ini aku banyak jadwal kegiatan yang harus ku selesaikan.
oase di hati itu tertumpah di cakrawala mengaliri
relung sanubari. warnanya bagai lembayung terbalut kasih.
adakah kaurengkuh kemilaunya?
dan dengarkanlah tarian segar itu,
dari jendela kaca berintik cahaya kaupadukan
mozaik rindu yang padang rindang.

aku tak mampu lagi mengisahkan
sajak rindu ini.
biar detak jam dinding, gerimis, dan isyarat
yang jadi kemilau fatamorgana.
dan tentu engkau
yang tak habis-habisnya memeluk majas mesra.

sajak rindu di gerimis pagi bulan Maret
merilis simfoni hati yang tertera pada reranting
di pelataran.
suaranya terdengar merdu di pematang senja.
ternyata ini realita bukan fatamorgana.
sisa jerit dan rintih pilunya
masih membayang di cakrawala.
dan tetap kunyanyikan bersama letupan doa
di penghabisan sepertiga malam

itulah sedikit sajak cintaku padanya, lepas dari itu aku lebih cinta dari cintaku yang ia tahu dan seandainya ia tau mungkin aku akan memberikan seluruh dan napas yang akupunya. Dan harapan aku yang terakhir aku dan dia menua bersama-sama dalam ikatan, aamiin.
11 days after, sebelas hari bagai menungguh hujan di matahari yang terik. Mustahil dan hanya tuhan yang bisa membuat terwujut sama halnya dengan perasaanku saat ini. Yaaa mungkin itu sedikit menggambarkan bagaimana semakin menjauhnya dia dari rasaku dan aku sangat sadar itu dan sempat kutanyakan
 “kok kamu dua hari terakhir datar dan sensitive dengan aku!
Ada hal yang salah atau kamu memberi isyarat bahwa aku harus mundur dan pergi?”
Jujur bagiku itu adalah kata yang akhirnya bisa aku keluarkan karena wanita yang ku harapkan kini bagai tak mengharap dan tak boleh tau apalagi mau tau tentang aku dan dia. Dan akhirnya dia hanya membalas chaatku
            “terserah kalau kamu mau mundur dan pergi,
     Cinta tak harus di paksa untuk datang,
     Cinta juga perlu pengorbanan bukan hanya kata-kata”
Membaca balas seperti tadi aku sedikit memutar rasa optimisku menjadi rasa malu dan nyadar diri. Sempat ku terusik di hati
“cinta tak serumit ini sayang, dan aku tak merasa memaksa, aku hanya meminta tau adakah sedikit rasa di hatimu ntentang namaku… hanya itu
Dan ini pendekatanku bukan pemujaanku terhadapmu, ada saatnya aku akan berjuan demi kamu, dan itu belum untuk saat ini.
Dan apa yang harus kuperjuangkan kalau yang diperjuangkanpun tidak pernah mau tahu.”
Karena aku telah berjanji selama dua minggu mencoba agar dia bisa jatu hati, akhirnya aku tetap dalam janji itu dan jujur dalam hati memang aku sangat masih mencintainya.
Sehari berselang jarak terasa semakin jauh dan apapun yang akan ku lakukan untuknya selalu akan berasa bersala terlebih 3 sampai 5 kali ku video call dan telpon nomor dia selalu dalam keadaan sibuk. Mungkin dia sedang dekat dan ada yang mendekatinya selain aku, entahhh apalah, memang kecewa tapi apa yang mau ku perbuat justru membuat aku semakin terpojok dan semakin salah.
                        Aku tau engkau memang elok nonan
                   Yang menyukaimu bukan hanya aku
                   Yang memperjuangkanmu bukan hanya aku
                   Yang mengharapkanmu juga bukan hanya aku
                   Apalagi yang menungguhmu juga pasti bukan hanya aku
                                      Makanya aku sadar diri tak harus berbuat berebihan
                                      Karena seperti apapun perhatianku pasti kurang
                                      Dan seperti apapun pengharapanku pasti kurang
                                      Biar aku merenung dalam kekurangan ini.

Terasa lama menungguh bukanlah sebuah acuan untuk menyerah. Menyerah hanya akan membuat kecewa tak beralasan.
Dan tepat malam ini adalah malam terakhir 14 hari penungguan jawaban. Kini tersisa hanya doa bukan rayuan ataupun kepandaian mengatur kata. Iya atau tidak adalah memang kata terakhir yang mau ku dengar, mungkin hanya sedikit alasan yang bisa menerimahku dan terlalu banyak alasan yang mungkin bisa menolakku.
Pukul 10 malam terlampaui tanpa sedikit tanda ia menerimahku, mungkin aku mulai menyadari mimpi ini terlalu tinggi dan apakah harus aku menyalahi mimpi?. Mungkin ia tenang dengan suasana sekarang.
                        Wanitaku rasa ini tak adil jika hanya seperti ini
                   Ini memang kurang dan bahkan terlalu sedikit
                   Tapi engkau adalah alasan dan semangat untuk
                   Meninggikan ini semua.


Aku galau dengan waktu, sampai cerita ini terbaca olehnya belum sedikitpun ia menjawab pertanyaanku “14teen days Before” apakah ia akan memutuskan untuk menolakku atau menerimaku dengan semua hal kecil yg mampu ku buktikan dan bisa jadi rasa ini akan tergantung tanpa sedikitpun kejelasan sesungguhnya.


Wednesday 13 March 2019

Terimahkasih asahnya



Senja menjadi tempat bagiku menghitung waktu. Menghitung sudah berapa kali matahari terbenam sejak rasa ini menghuni hatiku. Tapi kamu tak peduli pada hitungan waktuku. Bagimu, rasa ini hanya angin lalu yang menerpa jendela kamarmu.

Kamu tak mau tahu, sesulit apa aku menahan diri untuk tidak menghubungimu.
Aku selalu bertanya padamu, apakah aku mengganggu? Jawabanmu selalu sama, tidak. Tapi caramu meresponku begitu ketara. Kamu tak sebersemangat seperti minggu pertama kita berkenalan. Kamu berubah sedemikian rupa, sampai kukira kamu adalah orang yang berbeda.
Tapi kenyataannya kamu adalah orang yang sama. Orang yang menjatuhkanku kemudian menjauh tanpa mempertanggungjawabkan rasa yang terlanjur ada.
Bintang jadi pelarian bagiku untuk bertahan hingga larut malam. Saat orang lain bertanya kenapa aku tak kunjung menutup mata, kukatakan bahwa aku sedang sibuk menghitung bintang. Kenyataannya tidak. Aku sibuk menghitung detik, menunggumu mengucapkan selamat malam hingga tengah malam berlalu dan bintang memudar.
Kamu tak peduli seberapa gelisah aku menunggu. Kamu tak peduli seberapa sering aku mengecek ulang sosial mediamu. Kamu tak peduli seberapa rindu aku mendengar suaramu. Kamu tak peduli pada apapun. Kukatakan maupun kusembunyikan, sama saja. Bagimu perasaanku tak ada artinya.
Kucoba menjaga jarak, tapi tak bisa. Satu hari tanpa kabar darimu rasanya kosong tanpa makna.
Pantai adalah hiburan terakhirku saat kamu tak lagi menyapaku. Aku duduk di atas pasir sambil menatap sendu gulungan ombak yang menyentuh kakiku. Tidakkah kamu melihat luka yang terpantul di cermin mataku? Aku menyentuh pasir dan menggenggamnya erat, tapi tak berhasil membuat hatiku hangat. Aku berdiri dan mencoba menari bersama ombak, tapi bibirku gagal tersenyum.
Aku terduduk kembali. Kutaruh telapak tanganku di dada, mencari-cari luka yang tak berupa. Dia ada disana, masih disana. Sesak, aku tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Aku tak bergerak dan menangis di tempat yang sama. Tanpa sadar, aku menunggumu di bibir pantai yang lengang. Berharap kamu datang seperti tokoh utama dalam dunia imajinasi.
Tapi kamu tak datang, kamu tak pernah datang lagi. Pertemuan kita begitu singkat dan kamu sudah melupakannya.
Tanpa ikatan, aku tak bisa memintamu memelukku dan menghapus air mataku. Tanpa ikatan, aku tak bisa mengadukan rasa sakitku karena merindumu. Tanpa ikatan, aku tak bisa menyalahkanmu atas luka di hatiku. Tanpa ikatan, aku tak bisa berharap lebih.
Harusnya dari awal aku menghindar, atau setidaknya berhati-hati. Tapi kamu tahu? Aku ini tuna asmara yang bodoh. Bisa-bisanya aku menaruh harap pada ketidakpastian yang kamu tegaskan. Bisa-bisanya aku menaruh asa pada hadirmu yang sejenak ada lalu tiada. Bisa-bisanya aku menyayangimu yang tak cukup peduli pada perasaanku. Bisa-bisanya, aku memimpikan kamu berhenti dan menetap bersamaku.
Harusnya dari awal aku sadar, bagimu aku hanyalah persinggahan. Bagimu, aku hanya pelabuhan untuk sejenak istirahat lalu melanjutkan perjalanan. Bagimu, aku hanya mercusuar yang menari-nari di pulau kosong, yang menarik di kejauhan, namun tak cukup berharga untuk di perjuangkan. Aku yang gagal membuatmu nyaman, kini hanya bisa mengais sisa kenangan.
Aku sampai pada titik dimana menahan hadirmu hanya membuatku lelah.
Pergilah, aku tahu kamu tak ingin menetap. Pergilah, aku tahu kamu masih ingin mencari. Pergilah, aku tahu kamu tak bahagia bersamaku. Pergilah, aku tak akan menahanmu. Segalanya akan baik-baik saja bagimu, hatiku tak akan mengganggumu. Bagiku, cinta itu sederhana. Ia memberi tanpa berharap diterima, ia ada tanpa perlu didekap keberadaannya.
Aku melepasmu, meski perasaanku untukmu tak tahu kapan surutnya. Entah kapan rasa ini lepas, tapi yang jelas kamu bebas.
Tentang harapanku yang sirna, buar kukemasi sendiri bersama puisi. Ia tak akan tercecer tanpa nyawa. Sisa kenangan kita biar kurawat baik-baik, kuputar ulang saat rindu menghampiri. Segalanya akan baik-baik saja, kecuali luka di hatiku yang entah kapan sembuhnya. Jangan khawatir, aku tak akan menyalahkanmu, tak juga menyalahkan cinta, tak menyalahkan keadaan, apalagi waktu yang mempertemukan kita. Aku sudah dewasa, biar kuhargai semuanya.
Hujan adalah peraduan terakhirku untuk menyendiri. Aku menangis bersama payung hitam yang tergeletak di kakiku. Hujan luruh menyapu wajahku, membersihkan air mataku tanpa henti. Aku menangis tanpa alasan, seperti aku bahagia mendengar suaramu yang juga tanpa alasan. Kuraba kembali luka yang tak berupa, dia masih ada disana. Bersama bahagia yang diam-diam kusisakan atas kenangan yang kau tinggalkan.
By Copied.

Saturday 2 March 2019

Gerimis pagi



aku merapatkan hati ini pada detak
jam dinding di mayapada.
ada rindu di gerimis paginya.
di tajam-tajamnya ada guratan simfoni
menyertai hati dan kata yang tiada diam. menolehlah ia
pada hujan yang gerimisnya menusuk pelataran.
sendu.
syahdu.

aku menatap birunya titik air rinai
di kaca jendela.
kemilaunya semburat menikam rindu.
ah… ini fatamorgana!
bening.
ya, itu fatamorgana yang terisyaratkan dengan oase segar
yang kausisipkan di atas tembikar kekar.

oase di hati itu tertumpah di cakrawala mengaliri
relung sanubari. warnanya bagai lembayung terbalut kasih.
adakah kaurengkuh kemilaunya?
dan dengarkanlah tarian segar itu,
dari jendela kaca berintik cahaya kaupadukan
mozaik rindu yang padang rindang.
segar.
indah nian.

sudahlah, aku tak mampu lagi mengisahkan
sajak rindu ini.
biar detak jam dinding, gerimis, dan isyarat
yang jadi kemilau fatamorgana.
dan tentu engkau
yang tak habis-habisnya memeluk majas mesra.

sajak rindu di gerimis pagi bulan November
merilis simfoni hati yang tertera pada reranting
di pelataran. suaranya terdengar merdu di pematang senja.
ternyata ini realita bukan fatamorgana.
sisa jerit dan rintih pilunya
masih membayang di cakrawala.
dan tetap kunyanyikan bersama letupan doa
di penghabisan sepertiga malam


http://kontemplasisoresore.blogspot.com/2011/04/sajak-rindu-di-gerimis-pagi.html?m=1